Arsitektur dan Bencana 2
Arsitektur Tanggap Bencana Berdasarkan Sudut Pandang Islam
Oleh. Achmad Fahmi
Dalam berinteraksi dengan musibah bencana alam, Islam mengajarkan penganutnya untuk selalu bersabar serta mengambil pelajaran atas kejadian tersebut karena tidak ada suatu kejadian di dunia ini terjadi secara kebetulan. Semua atas izin Allah SWT dan menyimpan banyak hikmah.
Semakin orang itu paham terhadap hikmah dibalik kejadian tersebut, ia akan semakin lapang hati dalam menerimanya, sebagaiman firman dari Allah SWT, yang berbunyi: “Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan, barang siapa dianugerahi hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan, hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)” (Q.S Al-Baqarah: 269).
Menurut pemilik julukan sulthânul auliyâ’ (pemimpin para wali) itu, mukmin diberi musibah oleh Allah, agar diuji sebatas mana tingkat keimanannya. Apakah ia semakin jauh dari Tuhan, atau semakin mendekatkan diri. Sering kita jumpai, orang yang terkena bencana, ia akan frustasi, pesimis, bahkan cenderung menyalahkan kehendak Tuhannya.
Sedangkan bagi kaum yang beriman, bencana yang melanda negara kita hendaknya menjadi bahan introspeksi diri akan kesalahan-kesalahan kita. Mungkin, kita masih banyak melakukan kemaksiata, sering menyakiti orang lain, atau bahkan masih sering melalaikan kewajiban-kewajiban sebagai umat islam.
Tanggap bencana bukan lagi menjadi suatu hal yang baru tapi seharusnya sudah mendarah daging bagi masyarakat yang tinggal di wilayah kerap dilanda bencana. Pola adaptasi tanggap bencana juga harus diimplementasikan dalam upaya pembangunan rumah rakyat sehingga rumah yang dibangun juga tahan terhadap bencana agar tidak menimbulkan korban dan kerugian dalam jumlah besar. Untuk itu, arsitektur yang tanggap bencana harus dibumikan di Tanah Air.
Masyarakat Indonesia sejak dahulu telah membangun arsitektur yang tanggap terhadap bencana dengan beradaptasi terhadap alam seperti bangunan vernakular (tradisional) yang kebanyakan terbuat dari kayu dan bambu yang mana cocok untuk wilayah rawan gempa. Dalam Islam sendiri, karya arsitektur harus mampu menyatu dengan lingkungan dimana arsitektur itu didirikan, dalam artian tidak merusak lingkungan alam maupun buatan. Hal ini dinyatakan di dalam al-Qur‟an yang berbunyi: “….dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (al-Qashash: 77).
Hakekatnya semua arsitektur didesain dengan tujuan tepat guna. Akan tetapi dengan kemungkinan adanya beberapa faktor, hasil akhirnya belum tentu memberi “guna” maksimal seperti apa yang di harapkan. Keberhasilan arsitektur, semestinya dinilai bukan hanya didasarkan pada bentuk akhir perwujudan dan desainnya, melainkan apakah ia juga mampu dan berhasil memberikan pengaruh yang baik terhadap penghuni dan lingkungan dimana arsitektur itu berada. Oleh karena itu, seperti telah diungkapkan di atas, desain/rancangan harus selalu berorientasi tepat guna dan “well-tasted”, yaitu sesuai atau cocok bagi penghuninya dan mempunyai pengaruh yang positif pada lingkungannya.
Sikap yang bijaksana diperoleh berdasarkan pembelajaran secara langsung dari masyarakat dan alam, memperluas wawasan kita, untuk mencari informasi yang perlu kita jadikan masukan bagi desain tepat guna, karena banyak sekali dalam al-Qur’an maupun al-Hadits yang menganjurkan kita untuk selalu melakukan segala sesuatunya harus mempunyai manfaat dan maslahat bagi masyarakat, seperti dinyatakan di dalam hadits berikut:“Jikalau akan melakukan suatu urusan, pertimbangkanlah manfaat dan mudharatnya, kalau urusan itu bermanfaat kerjakanlah akan tetapi jikalau urusan itu banyak mudharatnya tinggalkanlan” (HR. Imam Muslim).
Saat ini, rumah dengan tembok yang terbuat dari bata, semen dan pasir sudah menjadi patokan rumah yang layak huni bagi setiap orang padahal belum tentu tanggap terhadap bencana. Bisa saja karena keterbatasan dana, masyarakat membangun dengan seadanya sehingga rumah tidak sesuai dengan struktur tahan gempa yang berakibat banyaknya orang tewas tertimpa reruntuhan bagian-bagian bangunan yang roboh diterjang gempa atau bentuk bencana lainnya. Dalam arsitektur Islami juga sudah dijelaskan pada prinsip efisiensi, misalnya dengan prinsip “luxurious in simplicity”, artinya mewah dalam desain tapi murah dalam pendanaannya, sehingga menghindari kemubadziran. Prinsip efisiensi ini juga dijelaskan pada firman Allah yang artinya “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Q.S. Al-Israa’:27).
Padahal sejak dulu dimana teknologi belum mewabah, masyarakat Indonesia telah mampu membangun arsitektur yang tanggap terhadap bencana. Namun, kini alih-alih mengejar status sosial, masyarakat beralih membangun tembok rumah dengan bahan material industri tanpa mengedepankan aspek ketahanan terhadap bencana. Padahal bencana seperti gempa bumi tidak dapat diprediksi waktu terjadinya.
Untuk itu, sudah seharusnya masyarakat mempersiapkan diri dengan perilaku tanggap bencana termasuk dalam hal arsitektur bangunan atau rumah sehingga meminimalkan korban dan kerugian.
Seorang arsitek pemilik studio Akanoma Yu Sing mengatakan, arsitektur yang tanggap bencana tersebut jangan hanya menjadi “angin lalu”, tapi harus diimplementasikan secara masif dan menjadi standar rumah yang layak huni. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyediakan aturan yang mendorong implementasi arsitektur tanggap bencana terutama bagi perumahan rakyat. Arsitektur yang tanggap terhadap bencana itu dapat dibangun dengan mengadopsi budaya lokal seperti rumah tradisional yang berbahan kayu atau bambu.
Hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan Arsitektur vernacular - ragionalism. Maksud dari perdekatan ini yakni, dengan cara mengambil salah satu bentuk dari bangunan tradisional yang kemudian di buat menjadi suatu desain baru yang menggambarkan ke Indonesia yang meng – kini (modern). Sesuai dengan era modern dan teknologi bangunan tradisional yang dimodernisasi. Nusantara pada bagian kiri menyatakan bahwa pandangan masih sempit yang memberi pengetahuan bahwa hanya pada daerah itu budaya boleh digunakan. Saya ambil contoh dari arsitektur Bali hanya di Bali saja. Sedangkan yang Indonesia dan global adalah menurut teknologi dan modern dan Indonesia sudah menjadi satu, jadi pada dasarnya bangunan Minang boleh di Jawa dan Batak boleh di Bali dan seterusnya. Berikut konsep arsitektur vernakular-ragionalism:
Gambar konsep arsitektur vernakular-ragionalism (Achmad Fahmi, Konsep Makro PA-4, 2019).
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan, bahwa secara umum dalam beraktivitas apapun termasuk dalam merancang, seorang arsitek muslim harus selalu berpegang teguh kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah agar hasil rancangannya memberikan manfaat dan tidak mengandung kemudharatan dalam Islam. Dan kearifan lokal tersebut juga dapat disatukan dengan perkembangan teknologi saat ini sehingga rumah atau bangunan yang dihasilkan tetap elegan, indah, mengikuti perkembangan zaman serta tanggap terhadap bencana.
Komentar
Posting Komentar