Arsitektur dan Bencana

RUMAH MINAHASA: Respon Arsitektur Vernakular Indonesia Terhadap Bencana
Oleh. Achmad Fahmi

    Indonesia merupakan sebuah negara dengan frekuensi dan intensitas bencana  tertinggi di dunia. Sepanjang tahun 2009-2018, bencana alam berimbas pada sepuluh juta jiwa, termasuk diantaranya kurang lebih lima ribu orang menjadi korban meninggal atau hilang. Sepanjang 10 tahun, bencana tersebut juga berdampak pada  setengah juta bangunan, baik rusak berat, sedang, maupun ringan (BNPB, 2019). Jika di total dengan jumlah kejadian bencana sepanjang dekade terakhir, rata-rata satu kejadian bencana mengakibatkan kurang lebih sekitar empat ribu korban dan dua ratus bangunan. Bencana dengan dampak terburuk secara kuantitas pada bangunan terjadi karena gempa bumi disertai tsunami. Gempa bumi dan tsunami yang dapat kita lihat pada tabel berikut:

Tabel Statistik Bencana Alam 2009-2018
 Gambar 1. Sumber: BNPB, 2019

Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan terhadap bencana alam, ini semua dikarenakan letak geografisnya berada pada jalur sabuk Alpide yang  merupakan jalur gempa paling aktif nomor dua di dunia. Karena kondisi inilah tidak heran jika pemukaan bumi kita terlihat tidak pernah bisa tenang. Sudah semestinya masyarakat tradisional telah memikirkan dan memiliki solusi yang tepat, salah satunya berbasis vernakular. Hal ini sangatlah wajar melihat hunian vernakular yang mencerminkan respon masyarakat terhadap lingkungan, termasuk diantaranya berupa potensi bencana. Sebagai contoh respon ini adalah Rumah Minahasa, bagaimana rumah hunian tradisional Minahasa ini menjadi salah satu bentuk respon terhadap bencana. Sejatinya rumah Panggung Wuloan di Minahasa merupakan rumah panggung tahan terhadap gempa pada semua struktur pondasi, dinding dan balok sebagai rangka utama berbahan kayu dan besi memenuhi syarat sebagai konstruksi tahan gempa. Setiap balok tersusun saling kait-mengait dan dinding yang terbuat dari papan membuat bangunan ini tidak mudah pecah maupun retak.
     Awal mula sebelum terjadinya gempa, konstruksi rumah tradisional Minahasa berbahan kayu dan bambu batangan. Bahan-bahan tersebut disambungkan dengan sistem sambungan pen dan diikat dengan tali ijuk pada usuk dari bambu. Sementara kolong bangunan terdiri dari 16 s/d 18 tiang penyangga dengan ukuran diameter 80-200 cm. Setelah terjadinya gempa, rumah tradisional Minahasa tidak mengalami banyak perubahan, kecuali panjang tiang-tiang penyangganya yang dikurangi menjadi 1,5 s/d 2,5 meter dan diameter tiang-tiang tersebut menjadi lebih kecil yakni 30 cm. Pengurangan tinggi tiang-tiang penyangga tersebut, menurut Hokky Situngkir dalam Kode-kode Nusantara: Telaah Sains Mutakhir atas Jejak-jejak Tradisi di Kepulauan Indonesia (2016), yakni untuk memaksimalkan fungsi suspensi sehingga rumah tidak mudah roboh ketika terjadi getaran hebat.
     Fenomena tersebut ia bandingkan pula dengan kondisi rumah-rumah disejumlah kampung tradisional Jawa Barat yang jarak antara tanah dengan lantai rumah sangat pendek. Hal ini, selain karena masyarakat Sunda tidak memiliki budaya memanfaatkan kolong rumah sebagai tempat menyimpan cadangan logistik, juga jika dikaitkan dengan gempa bumi adalah untuk mengantisipasi guncangan. Sela antara tanah dan lantai rumah dibuat rendah untuk fungsi suspensi dari rumah agar tidak goyah dan roboh ketika ada gempa bumi (Hokky Situngkir, 2016).
     Kolong rumah yang pendek ternyata bukan konsep permanen jika melihat rumah-rumah tradisional yang ada di Sumatra, rata-rata memiliki tiang-tiang penyangga cukup tinggi. Dalam merancang rumah, selain disesuaikan dengan antisipasi bencana alam, masyarakat disana juga menyesuaikannya dengan situasi kehidupan sosialnya. Berikut ini contoh model konstruksi kalang (tiang panggung) dan balok suai:

 
Gambar 2. Konstruksi kalang sunduk (kiri) dan balok suai (kanan) pada rumah panggung (Hidayati dan Octavia, 2013).

    Desain kolong di atas merupakan contoh respon masyarakat lokal dalam menerapkan kearifan guna meningkatkan pengalaman hidup yang tenang di dalam hunian mereka.
     Desain tahan gempa yang baik menekankan prinsip kekuatan yang cukup, duktilitas yang tinggi, serta tetap sebagai satu kesatuan integral ketika berhadapan pada gempa (Arya et al, 2014). Duktilitas adalah rasio perpindahan bangunan sebelum perpindahan puncak atau keruntuhan terhadap perpindahan pada kerusakan pertama. Antonim dari duktilitas adalah kerapuhan. Dalam artian, duktilitas rendah tidak lain merupakan bahan dengan kerapuhan tinggi. Bahan dengan kerapuhan tinggi dapat dibuat memiliki duktilitas tinggi dengan menambahkan bahan yang memiliki duktilitas tinggi pula. Contoh bahan duktilitas tinggi yakni baja dan kayu, sedangkan bahan dengan duktilitas rendah yakni besi tempa, batu, bata, dan semen. Ciri-ciri bahan rapuh dapat patah secara tiba-tiba, berbeda dengan bahan duktilitas tinggi, patahnya secara perlahan-lahan.
     Pada bangunan rumah, atap merupakan bagian yang paling mendominasi ketika terjadi kerusakan (Amri et al, 2017). Hal ini menjadi alasan tersendiri, jika bagian kontruksi atap memiliki material yang ringan dan berat material semakin tinggi ke arah tanah. Sedapat mungkin material atap tidak berbeda jauh dari material bagian tengah dan tiang sehingga robekan dapat berjalan secara berkelanjutan dari pondasi ke atap tanpa terhalang oleh perubahan bahan (Arya et al, 2014).
Dalam kurun kurang lebih 9 tahun, wilayah Indonesia telah terjadi sebanyak 23 kali gempa dan satu kali gempa disertai tsunami, dengan rata-rata korban 25 orang hilang dan meninggal untuk setiap gempa dan rata-rata 3.475 orang hilang (BNPB, 2019). Rata-rata sekali gempa merusak 9.905 bangunan sementara rata-rata setiap gempa disertai tsunami merusak 2.752 bangunan. Bentuk-bentuk kerusakan bangunan yang disebabkan oleh gempa mencakup terlepasnya tutupan atap, terlepasnya atap dari penopangnya, tersobeknya dinding, retak dinding secara diagonal, kegagalan sudut dinding, keruntuhan dinding, pelemahan sambungan ( baik dari dinding ke dinding, atap ke dinding, dan dinding ke pondasi), rusaknya bagian yang tidak simetris dari bangunan, kegagalan sudut bukaan, tubrukan antar bangunan, kegagalan pada titik perubahan massa atau kekakuan, serta kerusakan kualitas konstruksi (Boen, 2001).
    Rumah joglo di Jawa juga diketahui memiliki ketahanan terhadap gempa sedang karena menggunakan struktur kayu rong-rongan dengan sistem tumpuan bersifat sendi atau rol, sistem sambungan lidah alur, pola konfigurasi khas soko-soko emper terhadap soko guru, dan kekakuan soko guru oleh tumpang sari/brunjung (Prihatmaji, 2007). Lebih lanjut, kajian pada rumah Aceh juga menunjukkan ketahanan gempa karena struktur yang saling kunci dan kaku (Widosari, 2010). Kajian lain di rumah Nias menunjukkan kalau rumah ini stabil dan terbukti pada kejadian gempa Nias (Pudjisuryadi, Lumantarna, & Lase, 2007). Arsitektur lain di kawasan Papua yang diketahui tahan gempa adalah arsitektur Nabire (Purwanto & Gayatri, 2007). Sementara itu, penelitian pada rumah Besemah di Kota Pagaralam, Sumatera Selatan, menunjukkan pula kalau rumah ini tahan terhadap gempa karena struktur atas yang lebih ringan dari struktur tengah dan lebih ringan lagi dibandingkan struktur bawah dan struktur bawah yang dicirikan oleh umpak batu dan kitau. Umpak batu adalah pondasi menggunakan batu pecah atau batu bulat yang disusun dan sedikit dibenamkan di dalam tanah. Kitau merupakan sebuah tumpuan rol yang mereduksi gaya gempa karena meningkatkan elastisitas pondasi. Lebih dari itu, sistem sambungan bersifat jepit ketimbang menggunakan pasak, sehingga ketika terjadi gempa, masing-masing sambungan saling jepit, menjadikan bangunan menjadi satu kesatuan yang kokoh (Rinaldi et al, 2015). Rumah tradisional Rurukan dan Tonsealama dari Minahasa juga diketahui memiliki ketahanan gempa yang baik karena struktur bangunan yang kokoh, bentuknya yang simetris, dan sistem sambungan ikat dengan bahan kayu dengan dimensi yang relatif tepat dalam menghadapi gempa (Triyadi & Harapan, 2011). Berikut contoh cara kerja umpak batu dan kitau dalam merespon gempa:


Gambar 3. Cara kerja umpak batu dan kitau dalam merespon gempa

Gambaran dari berbagai studi kasus di atas menunjukkan bahwa secara umum, masyarakat di daerah rawan gempa baik di pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Papua telah menghasilkan kearifan lokal arsitektur yang adaptif terhadap gempa. Bahkan pada rumah panggung yang tergolong rentan roboh ketika gempa, masyarakat telah memiliki kearifan lokal tersendiri yang memungkinkan desain panggung bertahan dan mampu merespon gempa dengan baik (Rinaldi et al, 2015).


Pesan yang dapat saya sampaikan melalui artikel ini:
      "Pandangan mengenai bangunan tradisional yang dianggap kuno dan tidak layak huni harus diubah, baik oleh instansi pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. Pendefinisian rumah tidak layak huni yang menyebabkan rumah tradisional mulanya sudah kontekstual diganti oleh pemerintah dengan rumah yang merupakan hasil penyamarataan teknik membangun sehingga, tidak sesuai dengan konteks lingkungan dan harus diubah. Naluri masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam menjadi berkurang, yang berimplikasi pada resiliensi" (Achmad Fahmi, 2019).

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer